Minggu, 24 Juli 2011

Harus Bisa

Sejak tahun 2008 ya lalu saya sangat ingin menulis tentang apa saja, hanya saja ga tahu apa yang mau ditulis tetapi sejak kuliah di MMUGM saya merasakan menulis itu tidak sesulit apa yang saya bayangkan sebelumnya. Kedepannya saya akan berusaha mengapload semua tugas-tugas dari MMUGM yang saya rasa dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Saya merasakan banyak manfaat ketika masuk di MMUGM, salah satu manfaat yang paling berkesan adalah bertemu dengan orang-orang yang punya "talenta" sehingga saya termotivasi dan semangat untuk bisa bersaing dan bersahabat dengan mereka.

Minggu, 05 Desember 2010

still blank

i hope that i'll write any time

Sabtu, 23 Agustus 2008

Di Manakah Kebahagiaan ?

Di Manakah Kebahagiaan ?

Kebahagiaan adalah suatu kata yang begitu singkat, memiliki makna yang sangat luas. Sebuah kata yang maknanya
didambakan semua makhluk yang bernama manusia.

Banyak jalan yang ditempuh oleh manusia untuk memiliki makna yang terdapat dalam kata bahagia. Kebahagiaan
laksana barang hilang yang dicari-cari oleh kebanyakan manusia. Ia akan dicari dalam setiap masa dan tempat.

Dengan berbagai cara, manusia mencari kebahagiaan. Ada yang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, ada pula
yang mengejar popularitas.

Di Manakah Kebahagian ?
Apakah kebahagiaan itu terdapat pada kekayaan dan kemewahan hidup?
Tidak sedikit manusia yang memliki asumsi demikian, mereka mengira bahwa kebahagiaan terdapat pada kekayaan,
kemewahan hidup, harta yang melimpah ruah, dan kesejahteraan hidup.

Tapi kenyataannya, persepsi ini bahkan terkadang terbalik. Harta yang melimpah, ketenaran, akan menjadi bencana
bagi pemiliknya di akhirat.

Allah 3(-'FG H*9DI berfirman tentang orang munafik,
"Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan
(memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang
nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 55).

Siksa yang dimaksud dalam ayat ini adalah kesengsaraan, rasa sakit, keresahan dan penyakit. Kasus inilah yang
menimpa orang yang menjadikan harta dan dunia sebagai cita-cita utamanya dan puncak asanya. Dia akan selalu sakit
hati, terkena tekanan jiwa, bingung, pikiran dan nuraninya tidak tenteram.

Rasulullah 5DI 'DDG 9DJG H3DE telah menggambarkan jiwa tersebut dalam satu sabdanya,

]ENFR CN'FN*R 'DR".P1N)O GNEQNGO ,N9NDN 'DDQNGO :PFN'GO APJ BNDR(PGP HN,NEN9N DNGO
4NERDNGO HN#N*N*RGO 'D/QOFRJN' HNGPJN 1N':PEN)L HNENFR CN'FN*R 'D/QOFRJN' GNEQNGO ,N9NDN
'DDQNGO ANBR1NGO (NJRFN 9NJRFNJRGP HNAN1QNBN 9NDNJRGP 4NERDNGO HNDNER JN#R*PGP EPFR
'D/QOFRJN' %PDQN' EN' BO/QP1N DNGO

“Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai cita-citanya, maka Allah akan menjadikan dia orang yang kaya hati,
mengumpulkan kekuatannya, dan dunia akan mendatanginya sedangkan dia tidak suka. Dan barangsiapa yang
menjadikan dunia sebagai cita-citanya Allah akan menjadikan kefakiran di depan kedua bola matanya, menceraiberaikan
kekuatannya. Dan dia dikarunai dunia tidak lebih lebar dari kadar yang memang sudah ditetapkan untuknya.”
(HR. Tirmizdi. Dinyatakan shahih oleh Al Albani).

Harta bisa saja membawa kebahagiaan, asalkan memenuhi kedua syarat berikut ini:

Pertama; harta benda yang halal, yang didapatkan oleh seseorang atas kerja keras dan keringatnya sendiri.

Kedua; harta yang tidak digunakan untuk kejahatan.

Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka harta hanya akan menjadi bencana bagi pemilkinya.

Sumber Kebahagiaan Hakiki
Islam sebagi din yang sempurna telah memberikan kepada ummat manusia jalan atau cara untuk mencapai
kebahagiaan tersebut. Dan di antara sumber kebahagiaan tersebut adalah:

1. Kebahagiaan terdapat pada keimanan
Kebahagiaan tidak terletak pada harta yang melimpah ruah, tidak juga pada pangkat yang tinggi, bukan pula pada
jumlah anak yang banyak, bukan karena keberhasilan mendapatkan kepentingan dan tidak pula pada ilmu material.

Kebahagiaan adalah sesuatu yang timbul dari diri manusia, tidak datang dari luar manusia. Jika kebahagiaan diibaratkan
pohon, maka tempat tumbuhnya adalah jiwa dan hati manusia, sementara percaya kepada Allah 3(-'FG H*9DI dan hari
akhir adalah tempat tinggalnya, makanannya, ventilasinya, cuacanya, dan cahanya.

Orang yang tidak beriman kepada Allah 3(-'FG H*9DI, sebagi tempat bertumpu, tempat bersandar dan sebagai pemberi
pertolongan saat berada dalam kesulitan, maka dia laksana bangunan tanpa pondasi dan rumah tanpa tiang.
Karenanya, kita melihat orang yang paling sengsara dalam hidup ini adalah mereka yang banyak membangkang.
Mereka memiliki harta benda yang melimpah ruah, memperoleh rejeki yang banyak, tapi jika tertimpa musibah mereka
pasti gelisah. Karena sudah menjadi tabiat jiwa pasti takut kehilangan sesuatu yang ia miliki.

Iman adalah tempat bertumpu manusia yang dapat dipercaya, yang dapat dijadikan tempat berlindung jika kehidupan
ditimpa badai dan dikelilingi kegelapan.

2. Kebahagiaan terdapat pada ketenangan jiwa.
Diyakini bahwa ketenangan jiwa merupakan sumber utama yang dapat melahirkan kebahagiaan.

Selama di dunia, orang non Muslim disibukkan dengan keinginan dan tujuan yang beraneka ragam. Dia kebingungan,
bagaimana dia harus menyinkronkan antara memenuhui keninginan hawa nafsunya dan mengikuti tuntutan masyarakat
di sekitarnya. Sementara orang Mukmin terlepas dan terbebaskan dari semua itu, dan mengakumulasikan seluruh
targetnya dalam satu target, yaitu untuk mendapatkan ridha Allah 3(-'FG H*9DI. Dia tidak peduli apakah manusia ridha
atau murka. Yang penting Allah 3(-'FG H*9DIridha.

Tidak ada yang lebih lapang dari dada dan hati seorang Mukmin dan tidak ada yang lebih sempit dari dada seorang
yang membangkang dan meragukan keberadaan Allah 3(-'FG H*9DI dan hari akhir.

"Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari
kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 22-23).

Dan di antara faktor utama yang bisa membuat seseorang kehilangan ketenangan jiwa (resah) adalah orang yang
menyesali masa lalunya. Tidak mau menerima realita dan pesimis terhadap masa depan.

3. Kebahagiaan terdapat pada qanaah dan wara'
Qanaah adalah sikap menerima apa adanya. Adapun wara' adalah sikap berhati-hati terhadap segala hal yang dilarang
Wahdah Islamiyah
http://www.wahdah.or.id/wis Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2008, 20:28
oleh Allah 3(-'FG H*9DI dan hal-hal yang tidak jelas halal haramnya (syubhat).

Orang-orang yang qanaah mau dengan lapang dada mengambil bagian terkecil dari kenikmatan yang diberikan kepada
mereka untuk menyisakan bagian kepada orang lain, agar ikut merasakan kebahagiaan seperti yang mereka rasakan.

Sa'ad bin Abi Waqqash pernah berkata kepada anaknya, "Hai, Anakku! Jika kamu menginginkan kekayaan, maka
carilah dengan qanaah. Jika kamu tidak memiliki sifat qanaah, kamu tidak akan pernah merasa kaya, meski sudah
memiliki harta sebanyak apa pun."

Rasulullah 5DI 'DDG 9DJG H3DE bersabda,

ENFR #N5R(N-N EPFRCOER "EPFK' APJ 3P1R(PGP EO9N'AKI APJ ,N3N/PGP 9PFR/NGO BOH*O JNHREPGP
ANCN#NFQNEN' -PJ2N*R DNGO 'D/QOFRJN'

"Barangsiapa di antara kalian merasa hatinya tenteram, jasmaninya sehat, dan tercukupi kebutuhan sehari-harinya,
maka seolah-olah dikumpulkan untuknya dunia dan seluruh isinya." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dinayatakan hasan
oleh Al Albani).

Betapa bahagianya orang yang dikaruniakan nikmat oleh Allah 3(-'FG H*9DI sementara dia termasuk bagian dari orangorang
yang pandai mensyukuri nikmat.

4. Kabahagiaan ada pada kepandaian mensyukuri nikmat
Sebagai salah satu bentuk kelalaian adalah jika kita baru merasakan nikmat Allah 3(-'FG H*9DI setelah nikmat tersebut
lenyap dari hadapan kita, padahal kita tahu bahwa nikmat bisa kekal dengan cara disyukuri. Dan dia akan hilang dengan
pengingkaran.

Allah 3(-'FG H*9D berfirman, artinya:
"Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim:
7).

Abu Hazim berkata, ”Setiap nikmat yang tidak membuat orang yang menerimanya lebih dekat kepada Allah, maka nikmat
tersebut merupakan musibah."

5. Kebahagiaan ada pada rasa malu
Malu adalah sikap menahan dan menghindarkan diri untuk melakukan semua hal yang tidak disukai Sang Khalik.

Rasa malu dapat memproteksi seseorang agar tidak terjerumus ke dalam lumpur dosa dan kemungkaran. Orang yang
tidak mempunyai rasa malu tidak akan pernah melakukan bentuk kebaikan dan keutamaan apa pun.

Rasulullah 5DI 'DDG 9DJG H3DE bersabda,

'DR-NJN'!O EPFR 'DR%PJEN'FP HN'DR%PJEN'FO APJ 'DR,NFQN)P HN'DR(N0N'!O EPFR 'DR,NAN'!P
HN'DR,NAN'!O APJ 'DFQN'1P

”Rasa malu itu bagian dari iman, sedangkan orang yang beriman dijamin masuk surga. Ucapan tidak sopan bagian dari
bentuk perangai yang kasar, orang yang mempunyai perangai kasar tempatnya di neraka." (HR. Ahamad dan Tirmdzi).

Wahdah Islamiyah
http://www.wahdah.or.id/wis Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2008, 20:28
Seorang bijak pernah berkata, “Barangsiapa yang mengenakan pakaian malu maka orang-orang tidak akan pernah
melihat celanya.”

Wallahu Haadi li Ahsanil Akhlaaq (Al Fikrah)

Syandri Syaban

Sumber: Bahagiakan Dirimu dan Orang Lain, karya DR. Hassan Syamsi Basya

PEMBAGIAN TAUHID

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari

Pertanyaan
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi Al-Atsari ditanya : Selama ini dalam berbagai kesempatan, saya banyak mendengar dari orang-orang yang mengatakan bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Dari manakah pembagian ini, mengingat di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak disebutkan. Dan menurut kami, hal itu tidak didapati pula pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun shahabat. Bukankah pernyataan tersebut termasuk suatu perkara baru (muhdats) dan tidak ada dalilnya?

Jawaban
Kami katakan, bahwa pembagian yang disyaratkan tersebut kedudukannya seperti pembagian para pakar ilmu Nahwu terhadap kata dalam bahasa Arab menjadi isim (nama), fi’il (kata kerja) dan harf (imbuhan). Apakah yang demikian itu suatu hal tercela, padahal sesuai dengan kenyataan dan hakekat perkaranya.

Betapa tepatnya perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya “At-Tahdzir” halaman 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath-Thabari serta yang lainnya. Hal ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam “Taaj Al-Aruus” dan Syaikh Syanqithi dalam “Adhwa Al-Bayaan” dan yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya

Ini adalah hasil telaah yang paripurna dari nash-nash syar’i , seperti yang dikenal dalam setiap bidang ilmu. Seperti hasil tela’ah pakar ilmu Nahwu terhadap bahasa Arab menjadi : isim, fi’il dan harf. Dan orang-orang Arab tidak mencela dan melecehkan para pakar Nahwu tersebut terhadap hasil tela’ahnya”.

Berkata Syaikh Al-Baijuri dalam “Syarh Jauharah At-Tauhid” halaman 97. Firman Allah ; ‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah, yang konsekwensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun konsekwensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan)”.

Kami katakan : “Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat di dalam Al-Qur’an Al-Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam dua surat, yaitu Al-Fatihah dan An-Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan penutup Al-qur’an.

Oleh karena itu firman-Nya Yang Maha Suci ; ‘Alhamdulillahir rabbil ‘alamiin’, mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa Alaa terhadap seluruh makhluk-Nya, dan firman-Nya Yang Maha Suci : ‘Ar-Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’ di disini mengandung pengukuhan terhadap sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi dan nama-nama-Nya Yang Maha Mulia, sedangkan firman-Nya Yang Maha Suci : ‘Iyaaka Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin’ di sana mengandung pengukuhan ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepada-Nya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.

Kemudian berkata Imam Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz, juz I, hal.75. Firman-Nya : ‘Iyaaka Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman kepada-Nya yang menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan manusia beribadah kepada selain-Nya yang berupa berhala-berhala dan lain sebagainya”.

Jadi pembagian tauhid menjadi tiga tersebut adalah pembagian secara ilmu dan merupakan hasil tela’ah seperti yang dikenal dalam kaidah keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan tidak mengetahui sebagian yang lainnya. Allah pemberi petunjuk ke jalan nan lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.

Wallahu ‘alam

[Diangkat dari rubrik soal-jawab majalah Al-Ashalah edisi 4 Syawal 1413H. Disalin ulang oleh Majalah As-Sunnah Edisi 14/II/1416 – 1995. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Gedung Umat Islam Lt. II Jl. Kartopuran 241A Surakarta 57152]